Kalender Jawa Islam
Kalender yang disusun oleh Sultan Agung. Melalui ijtihad kreatifnya, Sultan Agung mengintegrasikan Kalender Saka dan kalender Hijriah dengan semangat memadukan tradisi dan tuntutan syar`i. Caranya tahun Saka yang sedang berlangsung dilanjutkan sebagai titik awal perhitungan Kalender Jawa Islam, sedang umur bulan mengacu pada sistem perhitungan Kalender Hijriah. Adapun ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kalender Jawa Islam adalah (a) 1 Suro tahun Alip 1555 bertepatan dengan hari Jum`at legi tanggal 1 Muharam 1043 H atau 8 Juli 1633 M, (b) satu periode (windu) membutuhkan waktu 8 tahun, (c) dalam satu windu terdapat 3 tahun panjang/wuntu (355 hari) dan 5 tahun pendek/wastu (354 hari), (d) bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali bulan Besar pada tahun Wuntu ditambah satu hari menjadi genap 30 hari), (e) hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) tetap dipertahankan, dan (f) setiap 120 tahun terjadi pergantian kurup. Kalender Jawa Islam hingga kini masih digunakan oleh masyarakat Jawa, khususnya Kraton Yogyakarta. Dalam realitasnya, Kalender Jawa Islam sering berbeda dengan Kalender Hijriah. Perbedaan ini terjadi karena Kalender Jawa Islam menggunakan hisab urfi. Padahal di dalam perjalanannya hisab urfi tidak dapat digunakan untuk persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ibadah. Bukti kongkretnya, puasa Ramadan jika menggunakan hisab urfi maka umurnya 30 hari selamanya. Sementara itu, menurut riwayat Rasulullah saw. berpuasa Ramadan selama 29 hari atau 30 hari. Melihat kenyataan ini, Ahmad Dahlan tidak puas dengan pernyataan dan pujian al-Qur`an yang jelas menyebutkan "kuntum khaira ummatin" tetapi dalam realitas empirisnya masyarakat Islam Yogyakarta terkungkung oleh "rutinitas" dalam menetapkan awal Ramadan dan Syawal. Pada saat itu, menurut keyakinan dan tradisi kesultanan untuk menentukan hari Raya menggunakan Kalender Jawa Islam. Perhitungan hari yang didasarkan atas Kalender Jawa Islam bersifat "ajeg" karena hanya didasarkan atas hisab urfi, padahal untuk menentukan hari Raya perhitungannya didasarkan atas perjalanan bulan yang sesungguhnya, karena itu menurut pandangan Ahmad Dahlan Kalender Jawa Islam dianggap tidak relevan dan kurang akurat. Mengingat perbedaan antara Kalender Jawa Islam dengan sistem hisab hakiki akan membawa akibat tentang keabsahan ibadah; Ahmad Dahlan berusaha memberi penjelasan kepada Sultan Hamengkubuwono VII bahwa Kalender Jawa Islam untuk menentukan jatuhnya hari Raya tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah keilmuan dan ajaran al-Qur`an, karena menurut perhitungan hisab hakiki hari Raya akan jatuh tepat pada tanggal 1 Syawal dengan ditandai munculnya hilal di ufuk sebelah Barat. Dengan demikian tidak tergantung pada ketentuan hari, bila pada saat akhir Ramadan hilal telah “kelihatan” maka keesokan harinya kaum muslimin diwajibkan berlebaran. Berdasarkan pemahaman keilmuan tersebut; Ahmad Dahlan berusaha menyampaikan gagasannya kepada Sultan Hamengkubuwono VII. Menurut tata cara yang berlaku, maka ia mengajukan pendapatnya kepada Pimpinan Dewan Agama Islam Hukum Kraton yang dipegang Kanjeng Penghulu Khalil Kamaludiningrat, dan setelah Sultan berkenan maka Ahmad Dahlan menghadap Sultan dan diantar oleh Kanjeng Penghulu yang mempunyai kewajiban untuk hal tersebut karena jabatannya (ex officio). Seusai mendengar penjelasan Ahmad Dahlan, Sri Sultan, sosok yang dihormati masyarakat, takzim mengucapkan, berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedangkan grebegan tetap bertradisi menurut Kalender Sultan Agung. Kalender Jawa Islam biasa disebut Kalender Sultan Agung yang nama ilmiahnya disebut Anno Javanico.